Kala Sapi Putih Desa Taro Tersaingi Gajah | Artikel Terkait Bali

Minggu, 01 Juli 2007

Kala Sapi Putih Desa Taro Tersaingi Gajah

Berbicara Desa Taro tak bisa lepas dengan keberadaan sapi putih di desa tersebut. Demikian pula dengan kerajinan paras dan Pura Kahyangan Jagat, Pura Gunung Raung. Namun belakangan, selain menyebut sapi putih masyarakat juga mulai menyebut-nyebut nama gajah.

Kala Sapi Putih Desa Taro Tersaingi Gajah
Desa Adat Taro berjarak kurang lebih 40 kilometer dari Denpasar. Bisa ditempuh sekitar satu jam dengan melewati kawasan hijau dengan udara sejuk. Konon, seperti diyakini masyarakat setempat Desa Taro erat kaitannya dengan kedatangan Rsi Markandya. Made Puri,
80 th, yang telah menjadi Bendesa Adat Taro sejak tahun 1952 menuturkan hal ini pada penulis. Ia menuturkan kedatangan Rsi Markandya dengan lugas meski usianya terbilang uzur. “Dari cerita tetua saya, konon desa ini ada berkat Rsi Markandya. Yang datang dari Jawa dan dalam tapanya melihat sinar dari kawasan ini,” terangnya. Sinar inilah yang konon menyebabkan Rsi Markandya datang dan hendak tinggal di kawasan yang dulu disebut Sarwada. Sarwada merupakan singkatan dari Sarwa Ada (Serba Ada). Lama kelamaan desa ini berubah nama dan disebut Desa Taro, ucapnya sejurus kemudian.

Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya termuat sebagai berikut :

“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”.
Ketut Soebandi (alm) menerjemahkan kalimat itu sebagai berikut “…..setelah selesai merabas, lalu tempat itu diberi nama Sarwada. Sarwada artinya, setiap yang dikehendaki oleh Maharsi, ada di tempat itu. Ajnana berarti kahyun (pikiran), kahyun bermakna kayu, nama lainnya, taru yaitu Taro…………dan seterusnya”.

Secara geografis Desa Taro merupakan bagian dari kawasan Munduk Gunung Lebah, dataran tinggi yang membujur dari Utara ke Selatan diapit oleh dua aliran sungai. Yakni sungai Oos Ulu Luh di sebelah Barat dan sungai Oos Ulu Muani di sebelah Timur. Kedua aliran sungai ini kemudian menyatu di tepi Barat Desa Ubud yang dikenal dengan nama Campuhan Ubud. Di bagian Utara Desa Taro berbatasan dengan Desa Apuan, Kintamani, di Timur dengan Desa Sebatu, Tegallalang, Selatan berbatasan dengan Desa Kelusa, Tegallalang, di Barat dengan Desa Puhu, Payangan.

Seperti diutarakan Ketut Rapya, Sekdes Desa Taro, desanya itu berada diketinggian 650 meter diatas laut. Dengan populasi 9400 jiwa, 1888 kepala keluarga. Dengan luas areal 1562,20 Ha. Dan wilayah Desa Adat taro terdiri dari 14 Desa Adat yakni, Sengkadoan, Alas Pujung, Tebuana, Let, Pisang Kaja, Pisang Kelod, Patas, Belong, Puakan, Pakuseba, Taro Kaja, Taro Kelod, Tatag, dan Desa Adat Ked.

Kisah Sapi Putih
Desa Taro memiliki satu keunikan yang tak dimiliki desa lin di Bali. Yakni dengan adanya sapi putih yang dianggap keramat. Masyarakat Desa Taro, terutama warga Desa Pakraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian hewan ini. Bahkan mereka tak berani memelihara palagi membunuh hewan suci tersebut. Tak ada orang yang berani memelihara sapi putih secara pribadi, ungkap Rapya menegaskan. Seandainya ada sapi putih yang lahir dari sapi peliharaannya, ketika mencapai umur enam (6) bulan pasti diserahkan pada Desa untuk merawat. Ditambahkan, hingga kini keberadaan sapi putih didesanya mencapai 50 ekor. Dan dalam kesehariannya, anggota masyarakat ditugaskan secara bergilir untuk memberi makan sapi-sapi tersebut. Intinya sapi tersebut diperlakukan istimewa. Demikian pula dengan keturunan sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna lain.

Selain disucikan sapi putih ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap (saksi) upacara di Bali yaitu Ngasti (dan yang setingkat dengan upacara itu). Lembu (Sapi) Putih ini dibawa ke tempat upacara dan oleh penyelenggara upacara dituntun mengelilingi areal atau tempat upacara sebanyak tiga kali. Upacara ini disebut dengan Purwa Daksina. Diterangkan Rapya untuk dapat menggunakan sapi putih di desanya, pihak desa menarik biaya sewa. Untuk satu kali upacara, baik itu jaraknya jauh atau dekat pihak desa menarik ongkos lebih kurang Rp 600 ribu dengan 15 orang pendamping. Memang, jumlah pendamping tersebut cukup banyak, namun diakuinya hal itu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan.

Keunikan Sapi Putih Tersaingi Gajah
Kini, Desa Taro tak lagi hanya dikenal dengan sapi putihnya, karena sejak beberapa tahun silam perangkat Desa Adat Taro telah bekerjasama dengan investor untuk mengembangkan pariwisata di desanya dengan membuat pariwisata gajah. Tempat wisata gajah tersebut pun berhadap-hadapan dengan tempat sapi putih. Menurut Rapya, pihak desa menyiapkan lahan sekitar 2,5 hektar untuk tempat wisata gajah itu, dan untuk lahan tersebut pihak desa mendapat bgian keuntungan 15 persen. Hingga kini, populasi gajah di tempat tersebut mencapai 26 ekor.

Sementara itu, Antropolog Unud Drs IB Pujaastawa Msi, yang pernah meneliti Desa Taro mengungkap di desa tersebut pada tahun 1967 terjadi konversi (pengalihfungsian) hutan yang menjadi komunitas sapi putih. Hal inilah yang menjadikannya tertarik meneliti Desa Taro. Seperti yang diketahuinya, mitos-mitos yang berkembang biasanya bermanfaat efektif sebagai mekanisme kontrol terhadap lingkungan, sebut saja misalnya di Alas Kedaton, Goa Lawah, dan Sangeh. Mitos tersebut pulalah yang menyebabkan komunitas di daerah terkait tetap bertahan. Namun, ini justru berbanding terbalik dengan Desa Taro, ujar dosen ini keheranan. Ditambahkannya, di desa ini dulu ada Alas Duwe (hutan taro) dengan sapi putih yang berkembang biak di dalamnya. Namun di tahun 1967 hutan ini dibabat menjadi lahan pertanian. Tapi lembu ini dibiarkan, setelah hutan itu dikonversi maka sapi ini berkeliaran di kampung-kampung.

Yang menjadi persoalan kenapa masyarakat berani membabat hutan yang diyakini kesuciannya? “Saya coba mengacu pada kondisi infrastruktur material yang mempengaruhi yakni, ekonomi, tekhnologi, ekologi, dan demografi,” jelasnya. Lebih lanjut dikatakan, dari segi ekonomi, di lihat pada tahun 1965 sedang terjadi krisis. Kemudian tekhnologi, masyarakat Desa Taro juga belum berkembang dalam bertani karena belum ada inovasi pertanian. Tetap saja produksi mereka masih terbatas.

Demografi, terjadi pertambahan penduduk. Ekologi, tahun 1963, terjadi Gunung Agung meletus katanya mempengaruhi kesuburan tanah tersebut terganggu. Namun ia tak berani memastikan mana yang paling menonjol perannya sehingga menyebabkan terjadinya konversi hutan tersebut.

0 Comments:

Related Articles