Minggu, 01 Juli 2007

Kala Sapi Putih Desa Taro Tersaingi Gajah

Berbicara Desa Taro tak bisa lepas dengan keberadaan sapi putih di desa tersebut. Demikian pula dengan kerajinan paras dan Pura Kahyangan Jagat, Pura Gunung Raung. Namun belakangan, selain menyebut sapi putih masyarakat juga mulai menyebut-nyebut nama gajah.

Kala Sapi Putih Desa Taro Tersaingi Gajah
Desa Adat Taro berjarak kurang lebih 40 kilometer dari Denpasar. Bisa ditempuh sekitar satu jam dengan melewati kawasan hijau dengan udara sejuk. Konon, seperti diyakini masyarakat setempat Desa Taro erat kaitannya dengan kedatangan Rsi Markandya. Made Puri,
80 th, yang telah menjadi Bendesa Adat Taro sejak tahun 1952 menuturkan hal ini pada penulis. Ia menuturkan kedatangan Rsi Markandya dengan lugas meski usianya terbilang uzur. “Dari cerita tetua saya, konon desa ini ada berkat Rsi Markandya. Yang datang dari Jawa dan dalam tapanya melihat sinar dari kawasan ini,” terangnya. Sinar inilah yang konon menyebabkan Rsi Markandya datang dan hendak tinggal di kawasan yang dulu disebut Sarwada. Sarwada merupakan singkatan dari Sarwa Ada (Serba Ada). Lama kelamaan desa ini berubah nama dan disebut Desa Taro, ucapnya sejurus kemudian.

Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya termuat sebagai berikut :

“…..wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaranan lemah Sarwada. Sarwada ngaran, salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markandya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro ………….dan seterusnya”.
Ketut Soebandi (alm) menerjemahkan kalimat itu sebagai berikut “…..setelah selesai merabas, lalu tempat itu diberi nama Sarwada. Sarwada artinya, setiap yang dikehendaki oleh Maharsi, ada di tempat itu. Ajnana berarti kahyun (pikiran), kahyun bermakna kayu, nama lainnya, taru yaitu Taro…………dan seterusnya”.

Secara geografis Desa Taro merupakan bagian dari kawasan Munduk Gunung Lebah, dataran tinggi yang membujur dari Utara ke Selatan diapit oleh dua aliran sungai. Yakni sungai Oos Ulu Luh di sebelah Barat dan sungai Oos Ulu Muani di sebelah Timur. Kedua aliran sungai ini kemudian menyatu di tepi Barat Desa Ubud yang dikenal dengan nama Campuhan Ubud. Di bagian Utara Desa Taro berbatasan dengan Desa Apuan, Kintamani, di Timur dengan Desa Sebatu, Tegallalang, Selatan berbatasan dengan Desa Kelusa, Tegallalang, di Barat dengan Desa Puhu, Payangan.

Seperti diutarakan Ketut Rapya, Sekdes Desa Taro, desanya itu berada diketinggian 650 meter diatas laut. Dengan populasi 9400 jiwa, 1888 kepala keluarga. Dengan luas areal 1562,20 Ha. Dan wilayah Desa Adat taro terdiri dari 14 Desa Adat yakni, Sengkadoan, Alas Pujung, Tebuana, Let, Pisang Kaja, Pisang Kelod, Patas, Belong, Puakan, Pakuseba, Taro Kaja, Taro Kelod, Tatag, dan Desa Adat Ked.

Kisah Sapi Putih
Desa Taro memiliki satu keunikan yang tak dimiliki desa lin di Bali. Yakni dengan adanya sapi putih yang dianggap keramat. Masyarakat Desa Taro, terutama warga Desa Pakraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian hewan ini. Bahkan mereka tak berani memelihara palagi membunuh hewan suci tersebut. Tak ada orang yang berani memelihara sapi putih secara pribadi, ungkap Rapya menegaskan. Seandainya ada sapi putih yang lahir dari sapi peliharaannya, ketika mencapai umur enam (6) bulan pasti diserahkan pada Desa untuk merawat. Ditambahkan, hingga kini keberadaan sapi putih didesanya mencapai 50 ekor. Dan dalam kesehariannya, anggota masyarakat ditugaskan secara bergilir untuk memberi makan sapi-sapi tersebut. Intinya sapi tersebut diperlakukan istimewa. Demikian pula dengan keturunan sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna lain.

Selain disucikan sapi putih ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap (saksi) upacara di Bali yaitu Ngasti (dan yang setingkat dengan upacara itu). Lembu (Sapi) Putih ini dibawa ke tempat upacara dan oleh penyelenggara upacara dituntun mengelilingi areal atau tempat upacara sebanyak tiga kali. Upacara ini disebut dengan Purwa Daksina. Diterangkan Rapya untuk dapat menggunakan sapi putih di desanya, pihak desa menarik biaya sewa. Untuk satu kali upacara, baik itu jaraknya jauh atau dekat pihak desa menarik ongkos lebih kurang Rp 600 ribu dengan 15 orang pendamping. Memang, jumlah pendamping tersebut cukup banyak, namun diakuinya hal itu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan.

Keunikan Sapi Putih Tersaingi Gajah
Kini, Desa Taro tak lagi hanya dikenal dengan sapi putihnya, karena sejak beberapa tahun silam perangkat Desa Adat Taro telah bekerjasama dengan investor untuk mengembangkan pariwisata di desanya dengan membuat pariwisata gajah. Tempat wisata gajah tersebut pun berhadap-hadapan dengan tempat sapi putih. Menurut Rapya, pihak desa menyiapkan lahan sekitar 2,5 hektar untuk tempat wisata gajah itu, dan untuk lahan tersebut pihak desa mendapat bgian keuntungan 15 persen. Hingga kini, populasi gajah di tempat tersebut mencapai 26 ekor.

Sementara itu, Antropolog Unud Drs IB Pujaastawa Msi, yang pernah meneliti Desa Taro mengungkap di desa tersebut pada tahun 1967 terjadi konversi (pengalihfungsian) hutan yang menjadi komunitas sapi putih. Hal inilah yang menjadikannya tertarik meneliti Desa Taro. Seperti yang diketahuinya, mitos-mitos yang berkembang biasanya bermanfaat efektif sebagai mekanisme kontrol terhadap lingkungan, sebut saja misalnya di Alas Kedaton, Goa Lawah, dan Sangeh. Mitos tersebut pulalah yang menyebabkan komunitas di daerah terkait tetap bertahan. Namun, ini justru berbanding terbalik dengan Desa Taro, ujar dosen ini keheranan. Ditambahkannya, di desa ini dulu ada Alas Duwe (hutan taro) dengan sapi putih yang berkembang biak di dalamnya. Namun di tahun 1967 hutan ini dibabat menjadi lahan pertanian. Tapi lembu ini dibiarkan, setelah hutan itu dikonversi maka sapi ini berkeliaran di kampung-kampung.

Yang menjadi persoalan kenapa masyarakat berani membabat hutan yang diyakini kesuciannya? “Saya coba mengacu pada kondisi infrastruktur material yang mempengaruhi yakni, ekonomi, tekhnologi, ekologi, dan demografi,” jelasnya. Lebih lanjut dikatakan, dari segi ekonomi, di lihat pada tahun 1965 sedang terjadi krisis. Kemudian tekhnologi, masyarakat Desa Taro juga belum berkembang dalam bertani karena belum ada inovasi pertanian. Tetap saja produksi mereka masih terbatas.

Demografi, terjadi pertambahan penduduk. Ekologi, tahun 1963, terjadi Gunung Agung meletus katanya mempengaruhi kesuburan tanah tersebut terganggu. Namun ia tak berani memastikan mana yang paling menonjol perannya sehingga menyebabkan terjadinya konversi hutan tersebut.

Tanam Ari-Ari, Penuhi Janji Sang Bayi

Layaknya bayi, ari-ari juga seharusnya dirawat. Karena sang jabang bayi telah terikat janji.

Dalam Manawa Dharma Sastra 11.27 tersurat mengenai upacara Garbha Homa. Ada mitologi menceritakan bahwa bayi dalam kandungan di emban oleh Bhatara Çiwa, ini merupakan pengejewantahan dari konsep Hindu yang mengatakan bahwa Tuhan melindungi semua ciptaanNya.

Dalam lontar Angastia Prana diceritakan bahwa dalam kandungan (buana alit) saat mencapai sembilan bulan terjadi dialog antara Sanghyang Titah (Çiwa) dengan si jabang bayi. Bahwa ‘rumahnya’ dalam kandungan sang ibu itu hanyalah sementara dan menunggu saatnya Sanghyang Tuduh memerintahkan untuk lahir ke dunia. Namun, si jabang bayi justru takut menjelma ke dunia. Karena dianggap hidup di dunia ini penuh tantangan. Namun setelah dijelaskan oleh Bhatara Çiwa bahwa lahir ke dunia adalah untuk mencapai peningkatan diri guna mencapai kedekatan dengan Hyang Widhi maka mengertilah dia tujuan lahir ke alam fana ini. Dengan saran Bhatara Çiwa tersebut maka sang jabang bayi minta bantuan pada Sang Catur Sanak (saudara empatnya) yaitu ari-ari (plasenta), yeh nyom, lamas, dan darah. Empat unsur inilah saudara sejati dari manusia yang lahir dan hidup sampai mati kelak.

Maka terjadilah perjanjian akan saling tidak melupakan antara mereka. Yakni, nanti begitu saat di tuduh untuk lahir maka yeh nyom membukakan cupu manik sang ibu, darah memberikan tenaga (bayu), lamas memberikan zat pelicin, dan ari-ari (plasenta) mendorong keluar, dengan kerja sama yang sempurna lahir bayi ke dunia ini untuk mengembangkan dirinya serta membuka misteri dunia ini. Akibat dari perjanjian inipula, apapun upacara dan apapun yang diberikan pada si bayi selayaknya diberikan pula pada tempat ari-ari ditanam. Misalnya saat si bayi dimandikan selayaknya tempat ari-ari tersebut juga disiram. Saat bayi diberi makan, seharusnya di ari-ari tersebut juga dihaturkan makanan---ngejot.

Sebelum ditanam ari-ari di bersihkan dengan air biasa kemudian dengan air kembang telon (kum-kuman). Lalu dimasukkan dalam kelapa yang sebelumnya ditulis aksara Ah, bagian belahan bawahnya ditulis aksara Ang. Setelah disatukan pada bagian sambungan ditulis aksara Ongkara yang bermakna agar Sang Catur Sanak selalu mohon kekuatan Hyang Widhi untuk melindungi sang bayi dalam kehidupannya di dunia.

Kenapa menggunakan kelapa, Mangku Wiguna mengungkap dalam mitologi Hindu disebutkan bahwa kelapa itu adalah perwujudan kepala Dewa Brahma. Salah satu dari lima kepala Dewa Brahma diambil oleh Hyang Pramesti Guru dan dijadikan kelapa. Oleh karenanyalah Dewa Brahma berkepala empat dan dipuja sebagai Dewa Brahma Catur Muka. Dan dengan pemakaian kelapa tersebut adalah agar spirit dari Sang Catur Sanak dapat berguna untuk membantu si bayi mengembangkan kreativitas hidupnya agar bermakna dalam hidup ini. Tercapainya Dharma, Artha, Kama sebagai landasan umum mencapai tujuan akhir yaitu moksa.

Sebagai catatan penting, yang perlu diperhatikan saat menanam ari-ari adalah letak menanamnya. Jika anak yang lahir laki-laki kelapa tersebut ditanam disisi kanan pada pintu keluar (posisi menghadap keluar rumah). Jika yang lahir perempuan maka ari-arinya ditanam disebelah kiri. Sebelumnya kelapa kelapa tersebut dibungkus dengan kain putih. Ujung kain disatukan, diisi satu buah kwangen dengan uang kepeng bolong Bali tujuh biji kemudian diikat dengan benang tukelan Bali. Dilengkapi dengan bekel ari-ari yaitu daun lontar yang telah ditulisi huruf Bali. Secara umum isi dari sesuratan tersebut adalah mohon perlindungan pada Ibu Pertiwi dan mohon agar Ibu Pertiwi berkenan mengantarkan Sang Catur Sanak dan si jabang bayi menuju jalan yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Lebih lanjut, Jero Mangku Yatna Wiguna mengungkap soal ukuran sesuratan yang akan dipakai. Dikatakannya, ukuran sesuratan tersebut sebaiknya dengan panjang satu jengkal dan lebar dua jari dan berlubang tiga. Pada lubang atas diikat dengan benang berisi uang kepeng Bali tiga biji.

Usai membuat sesuratan, semua sarana ditimbun. Setelah ditimbun, diatasnya ditanam pohon pandan berduri. Dalam mitosnya yang diambil dari cerita Dewi Adnyaswari disana diceritakan bahwa tetesan darah dari anak Catur Sanak tersebut tumbuh menjadi tanaman yang berduri. Selain itu makna memberi pandan juga dimaksud sebagai senjata untuk melindunginya. Kemudian ditindas dengan batu besar yang rata permukaannya. Di sebelahnya ditancapkan sanggah crukcuk dengan upacara banten peras telung sayut, penyeneng dan tumpeng pancawarna, sekar sarwa miik. Dan upakara untuk Catur Sanak berupa segehan kepelan Catur Warna, lauknya bawang jae diisi sedikit garam dan satu tangkih berisi sedikit beras, porosan, benang Bali dan dua biji uang kepeng dengan sampeyan plaus. Adapun maksud dari sanggah crukcuk ini adalah sebagai stana Sang Hyang Prajapati.

Sedangkan untuk upakara si bayi yaitu nasi muncuk kuskusan dan dapetan satu tanding. Kemudian pada ari-ari tersebut didampingi dengan lampu minyak yang berfungsi sebagai penerangan dan pembakaran guna sama-sama meningkatkan kesucian antara bayi dan Catur Sanaknya. Ditambahkan, sebaiknya menggunakan lampu yang memakai minyak kelapa.

Sunset di Buleleng

sunset buleleng pictureWah, maaf nama pantainya saya lupa. Yang jelas pantai ini dekat dengan lovina dari arah Singaraja kota. Waktu itu, saya dan mantan pacar (kini jadi istri) datang dari liputan motorcross. Karena badan penuh debu, muka pun terasa tebal, saya jadi kasihan sama pacar. Akhirnya saya ajak dia refreshing ke pantai. Padahal, selama pacaran gak pernah sama sekali saya mengajak dia secara khusus jalan-jalan. (maklum saya bukan tipe orang yang romantis). Wah mendapat twaran jalan-jalan dia pun sangat senang. "Tumben nih," ucapnya saat itu. Kemana kita, pertanyaan berikut langsung meluncur dari mulut manisnya. Ehhmm, jawabku. Karena masih capek, mulutku terkunci. Setelah satu patah kata tadi, tak satupun kata kuucap. Langsung aja gas motor ku tancap. Kubiarkan jalan mengaturku. Hingga akhirnya kulihat segerombolan anak muda masing-masing membonceng pacar. Wah, mereka pasti nyari tempat pacaran, pikirku saat itu. Langsung saja mereka kuikuti. Feelingku benar, mereka ternyata menuju pantai. Wah, asyik, pekik pacarku. Maka jadilah kita nongkrong di pinggir pantai.

Melihat matahari hendak terbenam alias sunset, tangan pun jadi gatal ngambil gambar. Maklum, kamera baru dan belum dikuasai total. Jadi pengen latihan terus. Kebetulan ada obyek menarik, maka jepret, jeprut, jeprot akhirnya jadilah photo ini dengan menggunakan Canon Poweshoot A 70. Hasilnya kurang bagus, masih terlalu harsh (gitu ya istilahnya?).

Setelah itu, kami berencana balik ke Denpasar, tapi perut gak bisa diajak kompromi. Laparrrrr....... Tiba-tiba saya ingat menu ikan bakar di pantai dekat lovina. Soalnya mantan pacar (kini sudah nikah di Lombok), pernah ngajak makan disana. Enak dan Murah. Karena saya puas makannya waktu itu, akhirnya pacar yang sekarang sudah jadi istri saya inipun tak ajak makan disana. Rp 50 ribu, dapat 5 ikan besar, nasi, sambal dan lalapan. ehhmmmmmm.

Pura Taman Limut, Pengosekan, Ubud, Gianyar

Berdiri di bagian Timur Jalan Raya Pengosekan dengan turunannya yang cukup curam membuat Pura Taman Limut seolah lempas dari publikasi. Posisinya agak tinggi dengan pepohonan rindang tampak menutupi areal pura sehingga luput dari perhatian warga yang kebetulan menggunakan jalan tersebut. Sedangkan di sisi Timurnya mengalir sungai Bulakan Batu dengan air cukup jernih.

Pura Taman Limut, gianyar
Ternyata pura ini menyimpan berbagai kisah unik. Sebut saja salah satunya kisah peninggalan gelungan pingit yang kini dijadikan sungsungan oleh warga pangempon pura. Konon peninggalan ini berhubungan dengan Ida Padanda Sakti Wawu Rawuh. Seperti yang dituturkan Kelihan Pemaksan Pura Nyoman Warsa, 50 sembari membalik-balik kertas foto kopian soal sejarah pura mengatakan kisah ini dapat diungkap dalam Babad Bendesa Manik Mas disusun oleh Rsi Bintang Dhanu Manik Mas IN Djoni Gingsir, terbitan Yayasan Diah Tantri, Lembaga Babad Bali Agung, yang diambil dari Lontar Usana Bali Saka 1297.

Dalam babad tersebut diceritakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh berputra empat orang yaitu Ida Keniten, Ida Manuaba, Ida Kemenuh, dan Ida Mas. Ida Mas disebut juga Ida Buk Jambe. Nah, dari Ida Mas inilah nantinya dikenal nama pura yang cukup unik ini serta peninggalan yang dipegangnya sebagai warisan sang ayah. Ida Mas mendapatkan warisan gelung tersebut karena saat pembagian warisan sang ayah lupa memberinya bagian harta. Semua harta kekayaan yang dikuasai Dang Hyang Nirartha dibagikan pada anak-anaknya kecuali Ida Mas. Yang tersisa untuknya di pasraman Taman Pule (Mas) hanyalah suamba (pemujaan), gelungan (mahkota) joged dan sebuah tongkat. Ida Mas yang juga dikenal dengan nama Ida Buk Jambe dari Desa Mas akhirnya tinggal di Desa Munduk Galang. Layaknya seorang putra brahmana yang kesohor Ida Mas pun ma-dwijati dengan gelar Pandita Sakti Magelung, karena Ida Mas memiliki gelung sakti. Memiliki sisya banyak, Pandita Sakti Magelung membangun sektor pertanian untuk menghidupi sisya setianya itu.

Tapi kemudian utusan Kerajaan Mengwi yang bergelar I Gusti Ngurah Mambal bersama prajurit-prajuritnya tanpa sengaja merusak pertanian Pandita Sakti. Sambil beristirahat melepas lelah para prajurit ini pun melepaskan kuda-kudanya dan memakan tanaman Pandita Sakti. Tak hanya kuda para prajurit, kuda I Gusti Ngurah Mambal yang disebut Ki Penandang Kajar pun turut serta. Terang hal ini membuat Pandita Sakti marah dan ingin membunuh kuda I Gusti Ngurah Mambal. Merasa mau dibunuh lalu kuda tersebut lari ke arah selatan. Dengan tembakau yang selalu dikunyahnya, Pandita Sakti melemparkannya ke kuda kesayangan I Gusti Ngurah Mambal. Kejadian ini pun membuat desa itu dikenal dengan nama Sampara (dilempar). Tembakau yang dilemparkan tersebut bukan tembakau biasa. Lemparan itu membuat kaki kuda tersebut patah. Sehingga daerah itu pun di beri nama Silungan (Banjar Silungan). Meski kaki kuda itu telah patah, tapi dengan sekuat tenaga tetap berlari hingga ditemukan dalam keadaan mati di Timur Munduk Galang.

Merasa di perlakukan seperti itu I Gusti Ngurah Mambal berniat balas dendam dengan mengumpulkan kekuatan di Kerajaan Mengwi. Tampaknya kesaktian Pandita Sakti tak dapat diremehkan, rencana balas dendam tersebut telah diketahuinya. Lalu beliau bersemedi dengan sarana japa mantra dan bunga. Dilemparkannyalah bunga tersebut ke Barat Laut agar pasukan Mengwi takut, tempat jatuhnya bunga tersebut dikenal dengan nyeh keunigan. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Banjar Nyuh Kuning.
Bunga berikutnya dilemparkan ke hutan kresek (duri), kini tempat ini dikenal dengan nama Banjar Pengosekan. Bunga terakhir dilemparkan ke atas, lemparan kali ini menyebabkan dunia diselimuti awan tebal, hujan, angin kencang disertai suara makuwus (gemuruh) sehingga menyebabkan jurang di sebelah barat Munduk Galang banjir besar.

Setelah melemparkan ketiga bunga itu, Pandita Sakti kembali ke pesanggrahannya di Munduk Galang. Lalu melakukan samadi dengan sarana tongkat warisan ayahnya. Kini awan tebal kembali datang entah darimana hingga menyelimuti sekelilingnya hingga tak bisa dilihat tembus oleh mata. Tongkat itupun kemudian ditancapkan dan keluarlah air lima warna. Pandita Sakti pun berpesan pada para sisyanya agar kelak membangun pura di tempat itu dengan nama Pura Taman Lima. Karena tempat tersebut diselimuti awan tebal (limut) maka akhirnya pura itu pun dikenal dengan nama Pura Taman Limut.

Setelah itu Warsa lalu menceritakan pingitnya gelung sakti tersebut. “Yang boleh menarikannya hanya anak yang belum menek bajang (akil balik),” akunya. Ketika didesak mengenai kenapa ada aturan mengenai siapa yang berhak menarikannya, Warsa hanya bisa mengatakan kalau hal itu telah diterimanya sejak jaman nenek moyangnya dan tak pernah diberitahu perihal alasannya. Tapi, lanjut Warsa, itu hanya aturan tersebut hanya berlaku bagi yang pertama kali menarikannya. Sedangkan yang sudah pernah nyolahang gelung tersebut meski sudah menikah bisa menari menggunakannya lagi.

“Sebenarnya tari joged pingit dengan gelung sakti ini baru katangiang sejak dua tahun lalu,” paparnya. Gelung itu memang telah ada sejak jaman kerajaan dan disungsung sejak jaman itu pula, tapi baru katangiang karena baru dua tahun itu dibuatkan gambelan joged oleh Warsa. Warsa pun mengusulkan agar dibelikan gelung lain lengkap dengan busananya dengan tujuan bila ada pementasan yang sifatnya komersil untuk wisatawan diluar piodalan yang jatuh setiap Buda Cemeng Menail, gelung itu bisa dimanfaatkan. “Tapi anehnya setiap saat akan dipakai tak pernah bisa, padahal saat membeli biasa saja,” ucapnya keheranan.

Pamangku Pura Taman Limut, Jero Mangku Nyoman Sora, 65 mengatakan hal ini berkaitan dengan pingitnya gelung tersebut hingga tak mau disandingkan. Tapi pernyataan ini dibantah oleh Warsa, baginya hal itu berhubungan dengan rasa, dimana setiap penarinya sangat berkeinginan untuk ngayah saat piodalan dengan menggunakan gelung pingit itu. Tapi karena diberikan bukan yang ‘asli’, mereka mendadak tak bisa memakai. “Mungkin hanya karena perasaan kurang sreg saja hal itu terjadi, akhirnya terkesan tak bisa dipakai. Mungkin saja karena yang bersangkutan tidak mau,” paparnya penuh logika.

Namun saat dihubungi di rumahnya Jero Mangku Nyoman Sura mengatakan bahwa gelung joged pingit tak sekedar mitos. “Sudah terbukti saat pentas di rumah almarhum Gung Kak Ringkus, tokoh seni di Desa Sayan kelompok yang menarikannya langsung bubar seusai pementasan,” ungkapnya. Hal ini dikatakannya, karena saat pertunjukan mapandung dengan Desa Sayan itu yang dipakai adalah gelung pingit disandingkan dengan gelung yang tidak asli.

Prenatal Education Ala Bali

Ilmu kedokteran mengenal istilah ‘prenatal education’ untuk membentuk watak anak baik. Agama Hindu sebenarnya telah mengenal konsep itu dan memaknainya dengan ritual angerujakin dan pagedong-gedongan saat kandungan berusia tiga bulan dan tujuh bulan.

Guna membentuk perwatakan agar jabang bayi kelak lahir menjadi anak yang baik (suputra) dalam ilmu kedokteran modern dikenal istilah ‘prenatal education’--- pendidikan saat bayi dalam kandungan. Pasalnya, bayi sejak dalam kandungan diyakini memiliki insting dan semacam memori guna menampung berbagai pengalaman hidupnya selama dalam kandungan. Maka muncullah berbagai pantangan bagi orang hamil. Sebab dikhawatirkan apapun yang dipikirkan ataupun dilakukan ibu saat hamil akan mempengaruhi sang jabang bayi.

Prenatal education ala Bali dikenal dengan upakara angerujakin dan pagedong-gedongan. Prenatal education ala Bali ini tersurat dalam Lontar Mpu Lutuk Patiurip. Upacara angrerujakin merupakan salah satu bentuk pelaksanaan manusa yadnya untuk pembentukan janin di dalam kandungan dengan tujuan agar sang bayi memperoleh kerahayuan dan menjadi anak yang suputra. Dalam lontar Janma Prawerti ada disebutkan tentang hakikat upacara angrerujakin. Pada saat yoganya Sang Hyang Semara Ratih yang merupakan inti dari makanan dan minuman (sarining pangan kinum) itulah permata kesenangan atau kebahagiaan. Dari pertemuan kama bang dan kama petak akan menjadi manik dan masuk ke dalam rahim ibu lalu berstana di dalam kunda cucupu manik (smara tapatra) bernama Sang Hyang Manik Sri Nukir. Keberadaannya di sana hanya mengisap intinya sad rasa (sarining sad rasa). Karena itu hendaknya di bantu dengan sarana sad rasa. Itulah sebabnya dilaksanakan dengan angrerujakin (ngidam). Yang dimaksud dengan sad rasa adalah enam rasa seperti : amla (asam), ksaya (sepet), tikta (pahit), ktuka (pakeh/asin), madhura (manis), lepana (pedas).

Inilah sarananya: Semua jenis pepaya, buah-buahan, gadung, kecubung, cuka, madu, sepasang permata mirah, disertai dengan kelengkapan upakaranya. Kemudian manik di dalam kandungan diberi puja mantra oleh sang pendeta agar memperoleh kerahayuan, kesempurnaan dan panjang umur.

“Makna pagedong-gedongan adalah pembersihan atau pembentukan manusia yang suputra,” papar Jero Mangku Made Yatna Wiguna. Kala pagedong-gedongan tiga sasih (angerujakin ) ibu yang mengandung dibuatkan upakara pabyakala, panglukatan, dan dapetan 1 tanding. Setelah itu barulah si ibu makan sad rasa. “Penyampi istilahnya,” ujarnya.

Kemudian setelah berumur tujuh sasih (bulan) dibuatkan upakara pagedong-gedongan. Upakara ini terdiri dari sebuah gedung tiangnya dari tebu atau kayu sakti (kayu dapdap), dinding dari janur atau ron. Gedong simbolis daripada buana agung. Diibaratkan sang atman yang akan turun bereinkarnasi. Ada panyeneng, daksina, peras tulung sayut alit. Pengulap pengambeyan (peras pengambeyan) terdiri dari suci dan pejati, di surya dan sangggah kemulan.

Namun dibeberapa tempat pagedong-gedongan dilakukan dengan sarana upakara, pamarisudha yaitu byakala dan prayascita. Banten tataban yang berisi sesayut, pengambean, peras panyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh. Di depan sanggar pemujaan, benang hitam satu gulung, kedua ujungnya dikaitkan pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah). Biasanya upacara ini dilakukan di didalam rumah, pekarangan di tempat permandian darurat yang disediakan khusus untuk upacara itu serta dilanjutkan di depan sanggar pemujaan (sanggah kamulan).

Pelaksanaannya, ibu yang sedang hamil itu terlebih dahulu dimandikan (siraman) diparisudha, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita. Lalu si ibu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup. Tangan kiri suami memegang benang dan tangan kanannya memegang bambu runcing, lalu sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si istri sampai air ikannya tumpah. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan, terakhir ditutup dengan panglukatan dan natab.

Upacara pagedong-gedongan ini meliputi tiga tingkatan yaitu nista, madya dan utama. Banten tingkatan nista terdiri dari, byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita, pagedong-gedongan (gedong), sesayut pengambeyan atau sesayut pemahayu tuwuh. Madya, byakala, peras, daksinan, ajuman, gedong, sesayut tulus dadi atau yang lainnya, pulagembal. Utama, byakala, peras, daksina, ajuman, 2 buah banten suci, dewa-dewi, prayascita, bebangkit, panglukatan, gedong, caru di kayehan, beberapa jenis sesayut dan tataban seadanya
Fungsi banten byakala adalah sebagai sajen yang yang ditujukan pada para Bhuta kala agar si ibu yang diupacarai dengan banten itu tidak diganggu dan rangkaian upakara berjalan dengan lancar. Sedangkan peras, daksina dan ajuman adalah sajen yang berfungsi sebagai banten prasaksi yang ditujukan pada Bhatara Surya agar beliau berkenan menyaksikan upakara dan memberikan rakhmat-Nya. Dan banten prayascita sebagai lambang pembersihan secara rokhaniah.

Banten itu juga dilengkapi pula dengan be bawang merah mentah, jahe, uyah, areng, kapur, awon, beluluk, sampyan dari daun andong, panyeneng lis dan air yang ditempatkan pada sangku. Tujuan banten caru ini adalah sebagai pemeliharaan dan pembersihan. Perlengkapan lain yang diperlukan dalam upacara ini yaitu benang hitam 1 tukel yang ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap, bambu buluh runcing (gelanggang), daun kumbang diisi air dan ikan sawah yang hidup yaitu belut, nyalian, ketam, seraken dibungkus dengan kain yang baru. Kedua cabang kayu dadap yang terikat benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang (arah benang agar menuju pada pintu gerbang).

Pura Luhur Besikalung

Pura Luhur Besikalung berlokasi di daerah pegunungan di lereng gunung bagian selatan Gunung Batukaru. Secara teritorial wilayah ini termasuk wilayah Jatiluwih. Tapi yang menjadi pengempon pura berada di wilayah Desa Adat Ulu, Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Lokasi pura jika ditempuh dari Denpasar mencapai kurang lebih 50 km menuju Gunung Batukaru sisi selatan.

Pura Luhur Besi Kalung
Meskipun tak banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan mengenai sejarah berdirinya Pura ini, tapi ada beberapa informasi yang dapat digunakan sebagai alternatif tentang asal-usul Pura. Sumber pertama: Prasasti Babahan I yang bertahun caka 839 (917 M) yang tersimpan di Pura Puseh Jambelangu Desa Adat Bolangan menyantumkan kalimat yang berbunyi ‘….. Cala Silunglung Kaklungan Pangulumbigyan….’. Dimana kata ini dapat diartikan, Bale suci (Cala Silunglung), kaklungan dan upacara pembersihan (Pangulumbigyan). Dari kalimat itu sangat dimungkinkan bahwa nama Besi Kalung berasal dari kata ‘Cala Silunglung’ yang berubah penyebutannya menjadi ‘Sikalung’ kemudian kembali mengalami perubahan ‘Besikalung’.

Sedangkan sumber kedua berasal dari adanya peninggalan Lingga yang ada pada palinggih pokok (agung). Dan menurut Jero Pemangku Agung bila lingga itu dipukul maka akan mengeluarkan suara nyaring seperti besi. Bentuk lingga itu bulat panjang dan pada bagian atasnya dihiasai dengan lingkaran seperti kalung, yang melingkarinya. Kemudian dari lingga yang seperti berkalung tersebutlah akhirnya Pura ini disebut dengan Pura Luhur Besikalung. Kenapa nama Pura ini didepannya berisi kata luhur karena letaknya yang ada di atas perbukitan. “Kata Besikalung juga dihubungkan dengan kata Pagerwesi yang berarti berpagar besi melingkar,” ujar Jero Mangku Agung Luhur Besikalung, I Gede Sukayasa. Hari Raya Pagerwesi, jatuh setiap Budha Kliwon Sinta bertepatan dengan Piodalan di Pura ini. Budha kliwon Pagerwesi menurut lontar Sunari gama sebagai pemujaan/ payogan Sang Hyang Pramesti Guru salah satu astek kemahakuasaan Ciwa sebagai Guru yang Agung yang dihormati oleh para Dewa dan semua makhluk hidup. Sedangkan Ida Bhatara malingga di Palinggih Pokok (Agung) menurut lontar Druwen Pura hal 185-186 disebutkan ‘samg Hyang Ciwa sakti’ dengan segala astek kemahakuasaan-Nya. Berdasarkan sumber yang disebutkan tadi dan sesuai denga peninggalan bersejarah berupa benda kepurbakalaan dapat diperkirakan bahwa Pura Luhur besikalung telah berdiri sejak abad IX-XII M. Dapat dilihat pula dari struktur bangunan palinggih yang berupa bebaturan yang dalam kepurbakalaan disebut tat batu berundak-undak. Yang menandakan bahwa pura ini merupakan peninggalan jaman megalitikum (jman batu besar). Karakteristik pemujaan pada jaman ini merupakan perpaduan pemujaan roh suci leluhur atau mereka yang dihormati dengan konsepsi-konsepsi ke-Tuhan-an Hindu yang datangnya dri India melalui Jawa. Jaman ini juga disebut juga dengan jaman Apaniaga yaitu peralihan dari jaman Bali Aga menuju jaman pengaruh-pengaruh kebudayaan Jawa dengan tatanan upacara Hindu Klasik.

Berdasarkan Prasasti Babahan I yang ditemukan di Pura Puseh Jambelangu mengisahkan perjalanan Raja Sri Ugracena ke Bali Utara dan sempat singgah pada pertapaan (pesraman) Rsi Pita Maha di Petung Bang Hyang Sidhi, beliau juga disebut dengan Bhiku Dharmeswara. Raja Sri Ugracena memberikan titah dan kewenangan pada Rsi Pita Maha untuk menyelesaikan upacara keagamaan bagi mereka yang meninggal salah pati, angulah pati. Hal inilah yang merupakan keistimewaan dan kekhususan Prasasti Babahan I yang dapat dikatakan sebagai satu-satunya Prasasti Bali yang memuat upacara Salah pati, Angulah Pati. Bang Hyang Sidhi yang disebut didalam prasasti Babahan I kini disebut Bangkyang Sidem terletak persis di sebelah timur Pura Luhur Besi kalung hanya dipisah kan oleh sungai (Yeh Ho). Di Pura subak Bangkyang Sidem sebagai situs kepurbakalaan terdapat 2 unit pura yang kecil diperkirakan sebagai tempat tinggal Sang Rsi dan yang satunya lagi terletak di bagian selatan agak di bawah diperkirakan sebagai tempat pemujaan harian beliau. Jika hipotesa ini benar maka ada kemungkinan Pura Luhur Besi kalung didirikan oleh Rsi Pita Maha pada masa pemerintahan Raja Ugracena yang bertahta atau memerintah pada caka 837 -864 atau sekitar 915-942 M. Mengingat prasasti Babahan I bertahun Caka 839 (917 M).

Memusnahkan Leak di Muka Bumi, Apa Mungkin?

Leak, sebuah fenomena mistis dari Bali. Sepanjang waktu selalu menjadi pergunjingan. Bahkan tak jarang saling tuduh kerap terjadi. Si anu bisa nge-leak, I dadong (nenek) anu sakti dan sebagainya. Tanpa sadar, dengan berlaku seperti itu sebenarnya mereka sedang dan telah melakukan pengleakan.

ASAL USUL DAN FILOSHOPI LEAK

Asal usul ilmu pengeleakan bisa dirujuk dalam sebuah ritual bathin yang disebut tapa. Tapa identik dengan api, kekuatan. Apakah kekuatan itu untuk membakar ego guna perolehan keinsyafan diri atau sebaliknya untuk mengumbar ego membakar subyek yang amat dibenci. Sekali lagi, tapa adalah api atau energi berhawa panas. Mereka yang menyimpan (mengekang) nafsu atau emosi negatifnya sedemikian rupa, apabila “diledakkan” dengan cara tertentu dapat menimbulkan api tapas , meski dalam alur yang menyimpang.

Bertolak dari prinsip ini, Calon Arang (Randa Dirah) tokoh sentral dalam jagat perleakan Bali diyakini telah melakukan praktek “tapa kebencian” dan menyalurkan hasil tapanya itu secara ghaib menjadi apa yang disebut LEAK. Kemampuan Calon Arang mengekang kebencian dan dendamnya (tapa) melahirkan api (energi panas). Inilah sebabnya Ilmu Leak versi Calon Arang dasar perwujudannya tampak sebagai api (ngendih). Dan tentu saja, api leak semacam itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka yang juga memiliki api sejenis dari tipe dan kualitas yang lebih baik yakni api spiritual. Sebab itu, Mpu Bharadah, Mpu Bahula atau Raja Airlangga (Mpu Jatayu) yang mewakili kekuatan “api spiritual” tidak mempan oleh serangan kebencian yang terpancar dari api tapas Rondo Dirah. Ini pulalah makna keputusan Bhatari Durga yang mengijinkan Walu Nateng Dirah menebar kekuatan pedestian-nya hanya berlaku untuk masyarakat “pinggiran” saja, tidak dapat memasuki “ibukota kerajaan” yang dipimpin Airlangga. Pinggiran disini maksudnya adalah mereka yang berpandangan “keluar” (duniawi) melekat kepada kesenangan material; cinta akan tahta, keserakahan dan sejenisnya. Sedangkan ibukota kerajaan menyimbolkan mereka yang berpandangan “kedalam”, yakni para penekun jalan keinsyafan diri atau para penapak jalan spiritual. Bagaimanapun juga, api tapa spiritual jauh lebih cemerlang dari api tapa kebencian. Dewi Durga (Bhairavi) adalah manifestasi illahi yang merupakan sumber kedua jenis api tapa itu.
Semasih ada rasa tertindas yang melahirkan kebencian dan dendam, semasih ada nafsu birahi yang menggebu dan menuntut pemuasan dan semasih ada kemarahan terpendam yang menuntut pembalasan, jika semua itu cukup untuk melahirkan penghancuran, maka apa yang disebut LEAK pasti tetap eksis.
Calon Arang hanyalah subyek pencetus yang mewakili rasa ketidak puasan yang super lengkap semacam itu. Ia adalah Ratu Permaisuri yang sedang berkuasa tapi ia dibuang seperti sampah hingga terlunta ke tepi pengasingan. Ia harus puas sebagai mantan ratu menerima predikat janda (rondo) yang memalukan. Anak satu satunya,yang seharusnya menjadi ahli waris tahta kerajaan adalah seorang wanita bernama Ratna Mengali,pun ikut dicampakkan. Masyarakat kala itu menghukumnya dengan tidak menunjukkan rasa emphati kepada mereka. Disaat usia Ratna Mengali sudah cukup untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang layak, tak seorangpun pria mau mendekatinya apalagi melamarnya. Bisa dibayangkan seorang Ibu yang sedang sebatang kara yang menyayangi anak tunggalnya menerima perlakuan semacam itu,terlebih ia mantan permaisuri Raja Dirah. Siang malam ia memendam api kebenciannya kepada semua orang. Itulah tapa hebat yang dilakukan Rondo Dirah.

Maka ia sampai ke Durgaloka yakni Pura Dalem (inner power, konsentrasi api energi dalam tubuh) dan melupakan segalanya. Tujuannya hanya satu; balas dendam melampiaskan kebencian yang tak terbendung lagi. Kebencian yang mendalam dari Calon Arang ini juga layak disebut tapa dan karena itu, Dewi Durga yakni api kesadaran bathin yang dahsyat (cid-aghni, api tapas) berkenan memberikan anugerah-Nya. Karena api itu lahir dari motif kebencian, tidak ayal lagi kualitas api yang diterimanya agak rusak (ugig) dan akhirnya, terbukti memang merusak. Api semacam itu (ditambah sedikit “bumbu” dari ajaran tantrik) merupakan bahan baku (raw material) proses menebar petaka dalam kehidupan yang disebut desti, teluh dan teranjana. Teknik pengolahan api tapa “jalur kiri” seperti versi Rondo Dirah itu banyak dibahas dalam ajaran tantra wamamarga. Salah satu contohnya adalah pewisik yang diterima Calon Arang agar berhasil merubah wujud (malin rupa) seperti berikut :

Iki tingkahe mangda dadi binarupa,katon dening wong sabumi; iki pradatanya,away hima hima ring payogan.Sane metu ring sarira gnahnya mider bwana,lwirnya :
Papusuwan ngaran purwa,ika dadi lembu
Peparu dadi singa,kelod kangin
Atine dadi barong,kelod unggwanya
Usus agung dadi warak,kelod kawuh unggwanya
Ungsilane dadi nagha pasa,kawuh unggwanya
Amprune dadi raksasa,kaja unggwanya
Jajaringane dadi garuda kaja kangin unggwanya
Tumpukan papuswane dadi kala mretyu,ring madya unggwanya

Sayangnya, sebagian orang selalu “memojokkan” Randa Dirah sebagai biang kerok Aji Ugig (leak), sementara banyak orang tanpa sadar juga sedang melakukan praktek tapa sejenis seperti yang dilakukan Randa Dirah. Dijaman Kali ini banyak orang mengaku takut terhadap leak meskipun dia sesungguhnya adalah juga pengikut Calon Arang.. Mereka “diam diam” pergi ke pura atau tempat tempat keramat,petilasan,makam “mbah sakti” dan sebagainya, bukan untuk menyembah Hyang (memuja,memuliakan dan bersyukur kehadapan Hyang Widhi) melainkan untuk mendoakan (baca; meminta) agar jabatannya langgeng (baca; orang lain tidak perlu naik pangkat),agar usahanya laris dan maju (baca; agar orang yang melakukan usaha sejenis bangkrut). Jika hal hal semacam itu mereka pikirkan terus menerus sampai tidak bisa tidur,tak ayal lagi mereka adalah pengikut setia Calon Arang alias “leak leak berdasi” (baca : leak matah). Jadi kenapa harus takut dan memojokkan Randa Dirah dan leaknya?

LEAK TETAP EKSIS

Diatas telah saya simpulkan bahwa semasih ada kebencian dan dendam yang perlu dilampiaskan,semasih ada nafsu birahi yang menuntut pemuasan dan semasih ada kemarahan terpendam yang menuntut pembalasan, jika semua itu cukup untuk melahirkan penghancuran,maka apa yang disebut LEAK pasti tetap eksis.
Memang dalam sebuah babad misalnya pernah terungkap sebuah Ajian yang dianugerahkan oleh Ida Peranda Sakti Wau Rawuh kepada sisya sisyanya terbukti sangat ampuh dan berhasil mengalahkan ilmu pengeleakan yang merajalela pada masa itu.Ajian pemunah Ilmu Pengelakan itu popular disebut Gni (Agni) Wairocana.Hanya sekejap saja setelah mantra ajian tersebut dirapal,balatentara pengeleakan berikut panglimanya musnah terbakar hancur lebur menjadi abu.Ajian macam apa sesungguhnya Agni Wairocana itu?

RAHASYA AJIAN AGNI WAIROCANA

Vajra Vairochani (ya) adalah nama lain dari Indrani (Shakti Dewa Indra) yang mengambil bentuk sebagai “tubuh” dari senjata Vajra (Halilintar) milik Dewa Indra. Vajra adalah halilintar; yakni api (agni) kosmik yang sangat dahsyat.Siapapun yang terkena pukulan Vajra ini akan dilumpukan egonya sehingga mengalami “pencerahan seketika”. Sama halnya dengan pengalaman yang menimpa Shri Hanuman,ideal dasyabhakti dalam epos Ramayana. Karena prilaku egoistik (ugig) semasa kecilnya, Putra Vayu yang gagah perkasa itu mendapat hukuman dari Dewa Indra,Penguasa Kahyangan.

Indra melepaskan senjata vajra yang dahsyat itu dan mengenai dagu Hanuman .Hanuman kemudian jatuh dan pingsan (egonya dilumpuhkan). Setelah Hanuman siuman,ia mendapati dirinya telah “tercerahi”(mencapai keinsyafan diri). Untuk sampai kepada hakekat pencerahan itu, banyak usaha yang telah dilakukan Sang Hanuman. Hanuman pada masa itu sedang berguru di Suryaloka. Ini menunjukkan bahwa Ia seorang bhakta yang mendambakan penerangan jiwa (Surya=Pencerahan). Setelah menimba pelajaran di Surya Loka,dengan kekuatan yang diperolehnya Ia sempat menghancurkan kereta perang Dewa Indra.

Ini menunjukkan bahwa Hanuman telah menundukkan “ kereta” yakni badan/tubuh tempat nafsu inderawi melampiaskan hasratnya. Bahkan Hanuman melumpuhkan Gajah Airavata,wahana utama Dewa Indra. Gajah adalah simbol buddhi (asas kebijaksanaan). Lagi lagi peristiwa ini menunjukkan bahwa Hanuman telah menguasai intelegensia, pusat segala pertimbangan untuk membedakan kebaikan dan keburukan (wiweka=buddhiyoga). Setelah penundukan kereta badan dan menguasai wiweka, Hanuman kemudian “menerima” pukulan Vajra Vairochana, the personification of instantaneous enlightment (perwujudan pencerahan seketika). Senjata ini cukup populer di Bali sebagai nama “ilmu” yakni Aghni Wairochana untuk mengalahkan leak sebagaimana tertulis dalam Babad Pasek.

Bertolak dari uraian diatas, sangatlah logis kalau ilmu Agni atau Vajra Wairocana itu dikatakan sangat ampuh untuk memunahkan Leak. Karena Agni Wairocana adalah senjata kesadaran jiwa untuk melumpuhkan ego (pikiran) yang sedang dipenuhi kabut kegelapan hawa nafsu (kebencian,dendam,kemarahan,kesombongan,dsb). Energi yang dipancarkan oleh pikiran yang gelap adalah emosi negatif atau hawa panas yang dapat menghancurkan kehidupan. Hawa panas yang desruktif ini adalah cikal bakal aji pengleakan.Maka jika kabut kegelapan pikiran dan api hawa nafsu itu dilumpuhkan, tak ayal cikal bakal pengleakanpun sirna dari kehidupan manusia.Agni Wairocana adalah ajian penerang jiwa,cahaya kesadaran jiwa yang terbit dari penapakan jalan spiritual keinsyafan diri. Senjata ini hanya dikuasai oleh pribadi pribadi mulia sekaliber Danghyang Nirartha,Mpu Bharadah,Mpu Jiwaya,Mpu Bahula dan segelintir orang suci lainnya. Bagi mereka,kekuatan leak tidak kuasa menyentuhnya. Bagaimana dengan Anda?

Catatan : Artikel ini ditulis oleh Drs.Kadek Yudhiantara,MAP, untuk keperluan penulisan di sebuah media. Pak Kadek adalah Guru Besar Maruti Suta-Bali dan juga seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Bali.