Pura Taman Limut, Pengosekan, Ubud, Gianyar | Artikel Terkait Bali

Minggu, 01 Juli 2007

Pura Taman Limut, Pengosekan, Ubud, Gianyar

Berdiri di bagian Timur Jalan Raya Pengosekan dengan turunannya yang cukup curam membuat Pura Taman Limut seolah lempas dari publikasi. Posisinya agak tinggi dengan pepohonan rindang tampak menutupi areal pura sehingga luput dari perhatian warga yang kebetulan menggunakan jalan tersebut. Sedangkan di sisi Timurnya mengalir sungai Bulakan Batu dengan air cukup jernih.

Pura Taman Limut, gianyar
Ternyata pura ini menyimpan berbagai kisah unik. Sebut saja salah satunya kisah peninggalan gelungan pingit yang kini dijadikan sungsungan oleh warga pangempon pura. Konon peninggalan ini berhubungan dengan Ida Padanda Sakti Wawu Rawuh. Seperti yang dituturkan Kelihan Pemaksan Pura Nyoman Warsa, 50 sembari membalik-balik kertas foto kopian soal sejarah pura mengatakan kisah ini dapat diungkap dalam Babad Bendesa Manik Mas disusun oleh Rsi Bintang Dhanu Manik Mas IN Djoni Gingsir, terbitan Yayasan Diah Tantri, Lembaga Babad Bali Agung, yang diambil dari Lontar Usana Bali Saka 1297.

Dalam babad tersebut diceritakan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh berputra empat orang yaitu Ida Keniten, Ida Manuaba, Ida Kemenuh, dan Ida Mas. Ida Mas disebut juga Ida Buk Jambe. Nah, dari Ida Mas inilah nantinya dikenal nama pura yang cukup unik ini serta peninggalan yang dipegangnya sebagai warisan sang ayah. Ida Mas mendapatkan warisan gelung tersebut karena saat pembagian warisan sang ayah lupa memberinya bagian harta. Semua harta kekayaan yang dikuasai Dang Hyang Nirartha dibagikan pada anak-anaknya kecuali Ida Mas. Yang tersisa untuknya di pasraman Taman Pule (Mas) hanyalah suamba (pemujaan), gelungan (mahkota) joged dan sebuah tongkat. Ida Mas yang juga dikenal dengan nama Ida Buk Jambe dari Desa Mas akhirnya tinggal di Desa Munduk Galang. Layaknya seorang putra brahmana yang kesohor Ida Mas pun ma-dwijati dengan gelar Pandita Sakti Magelung, karena Ida Mas memiliki gelung sakti. Memiliki sisya banyak, Pandita Sakti Magelung membangun sektor pertanian untuk menghidupi sisya setianya itu.

Tapi kemudian utusan Kerajaan Mengwi yang bergelar I Gusti Ngurah Mambal bersama prajurit-prajuritnya tanpa sengaja merusak pertanian Pandita Sakti. Sambil beristirahat melepas lelah para prajurit ini pun melepaskan kuda-kudanya dan memakan tanaman Pandita Sakti. Tak hanya kuda para prajurit, kuda I Gusti Ngurah Mambal yang disebut Ki Penandang Kajar pun turut serta. Terang hal ini membuat Pandita Sakti marah dan ingin membunuh kuda I Gusti Ngurah Mambal. Merasa mau dibunuh lalu kuda tersebut lari ke arah selatan. Dengan tembakau yang selalu dikunyahnya, Pandita Sakti melemparkannya ke kuda kesayangan I Gusti Ngurah Mambal. Kejadian ini pun membuat desa itu dikenal dengan nama Sampara (dilempar). Tembakau yang dilemparkan tersebut bukan tembakau biasa. Lemparan itu membuat kaki kuda tersebut patah. Sehingga daerah itu pun di beri nama Silungan (Banjar Silungan). Meski kaki kuda itu telah patah, tapi dengan sekuat tenaga tetap berlari hingga ditemukan dalam keadaan mati di Timur Munduk Galang.

Merasa di perlakukan seperti itu I Gusti Ngurah Mambal berniat balas dendam dengan mengumpulkan kekuatan di Kerajaan Mengwi. Tampaknya kesaktian Pandita Sakti tak dapat diremehkan, rencana balas dendam tersebut telah diketahuinya. Lalu beliau bersemedi dengan sarana japa mantra dan bunga. Dilemparkannyalah bunga tersebut ke Barat Laut agar pasukan Mengwi takut, tempat jatuhnya bunga tersebut dikenal dengan nyeh keunigan. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Banjar Nyuh Kuning.
Bunga berikutnya dilemparkan ke hutan kresek (duri), kini tempat ini dikenal dengan nama Banjar Pengosekan. Bunga terakhir dilemparkan ke atas, lemparan kali ini menyebabkan dunia diselimuti awan tebal, hujan, angin kencang disertai suara makuwus (gemuruh) sehingga menyebabkan jurang di sebelah barat Munduk Galang banjir besar.

Setelah melemparkan ketiga bunga itu, Pandita Sakti kembali ke pesanggrahannya di Munduk Galang. Lalu melakukan samadi dengan sarana tongkat warisan ayahnya. Kini awan tebal kembali datang entah darimana hingga menyelimuti sekelilingnya hingga tak bisa dilihat tembus oleh mata. Tongkat itupun kemudian ditancapkan dan keluarlah air lima warna. Pandita Sakti pun berpesan pada para sisyanya agar kelak membangun pura di tempat itu dengan nama Pura Taman Lima. Karena tempat tersebut diselimuti awan tebal (limut) maka akhirnya pura itu pun dikenal dengan nama Pura Taman Limut.

Setelah itu Warsa lalu menceritakan pingitnya gelung sakti tersebut. “Yang boleh menarikannya hanya anak yang belum menek bajang (akil balik),” akunya. Ketika didesak mengenai kenapa ada aturan mengenai siapa yang berhak menarikannya, Warsa hanya bisa mengatakan kalau hal itu telah diterimanya sejak jaman nenek moyangnya dan tak pernah diberitahu perihal alasannya. Tapi, lanjut Warsa, itu hanya aturan tersebut hanya berlaku bagi yang pertama kali menarikannya. Sedangkan yang sudah pernah nyolahang gelung tersebut meski sudah menikah bisa menari menggunakannya lagi.

“Sebenarnya tari joged pingit dengan gelung sakti ini baru katangiang sejak dua tahun lalu,” paparnya. Gelung itu memang telah ada sejak jaman kerajaan dan disungsung sejak jaman itu pula, tapi baru katangiang karena baru dua tahun itu dibuatkan gambelan joged oleh Warsa. Warsa pun mengusulkan agar dibelikan gelung lain lengkap dengan busananya dengan tujuan bila ada pementasan yang sifatnya komersil untuk wisatawan diluar piodalan yang jatuh setiap Buda Cemeng Menail, gelung itu bisa dimanfaatkan. “Tapi anehnya setiap saat akan dipakai tak pernah bisa, padahal saat membeli biasa saja,” ucapnya keheranan.

Pamangku Pura Taman Limut, Jero Mangku Nyoman Sora, 65 mengatakan hal ini berkaitan dengan pingitnya gelung tersebut hingga tak mau disandingkan. Tapi pernyataan ini dibantah oleh Warsa, baginya hal itu berhubungan dengan rasa, dimana setiap penarinya sangat berkeinginan untuk ngayah saat piodalan dengan menggunakan gelung pingit itu. Tapi karena diberikan bukan yang ‘asli’, mereka mendadak tak bisa memakai. “Mungkin hanya karena perasaan kurang sreg saja hal itu terjadi, akhirnya terkesan tak bisa dipakai. Mungkin saja karena yang bersangkutan tidak mau,” paparnya penuh logika.

Namun saat dihubungi di rumahnya Jero Mangku Nyoman Sura mengatakan bahwa gelung joged pingit tak sekedar mitos. “Sudah terbukti saat pentas di rumah almarhum Gung Kak Ringkus, tokoh seni di Desa Sayan kelompok yang menarikannya langsung bubar seusai pementasan,” ungkapnya. Hal ini dikatakannya, karena saat pertunjukan mapandung dengan Desa Sayan itu yang dipakai adalah gelung pingit disandingkan dengan gelung yang tidak asli.

Related Articles